BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada
masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia sangat
sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan
kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru
mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan
pinggiran (daerah).[1]
Daerah
yang kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi
di antara elite Jakarta, alih-alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah.
Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi timpang. B.J.
Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat
kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan
menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah
atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undang-undang ini,
daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte
oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut
merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia.[2]
Pada
masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari republik,
juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya
pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan
kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju
terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu
politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari masing-masing
kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi
massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan.[3]
Berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun
direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang.
Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung empat provinsi baru lahir di
negara ini, yaitu Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau
Papua yang sebelumnya merupakan sebuah provinsi pun saat ini telah mengalami
pemekaran, begitu pula dengan Kepulauan Maluku.
Terakhir, pada 4 Desember 2005 sejumlah
tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan
Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan. Aceh Leuser Antara
terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil,
Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten
Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.
1.2
Pokok Permasalahan
Yang
menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Bagaimanakah
perangkat hukum di Indonesia mengatur mengenai permasalahan otonomi daerah dan
pemekaran wilayah?
b. Dampak
apakah yang timbul dari pemberlakuan system otonomi daerah?
c. Apakah
yang menjadi faktor penyebab terjadinya pemekaran wilayah di negara Republik
Indonesia?
1.3
Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode studi
kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan
pustaka.
BAB
II
OTONOMI
DAERAH, PERATURAN, DAN PELAKSANAANNYA
2.1
Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah
merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan
berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan
daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan
daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi
daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh
undang-undang.
Pasal
18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama
menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”[4]
Secara khusus, pemerintahan daerah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,
dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk
untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004)
memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”[5]
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga
mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”[6]
Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi,
dekonsentrasi, dan tugas pembantu. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari
pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu. Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem
otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).
2.2 Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah
membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah
menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya
DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah
otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat
memberhentikan kepala daerah.[7]
Pemberlakuan otonomi daerah beserta
akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi
dari Jakarta ke daerah, otono
mi daerah juga memunculkan raja-raja
kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan
adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka
merupakan representasi elite lokal yang
berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana demokrasi yang belum
terbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat
rentan terhadap korupsi.[8]
Sebagaimana diamanatkan
UU Nomor 32 Tahun 2004, public seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan.
Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan
yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusa belum melibatkan
publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota.
Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan
peraturan daerah (perda).
Sebagai contoh dari kenyataan tersebut,
sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera
Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan
peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak.
Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas
di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah dilakukan pengesahan,
perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang
cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan
publik yang mereka berikan.[9]
Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan
pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang
desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi otonomi daerah
selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong
bangkitnya partisipasi warga.[10]
Otonomi daerah, di
lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial
masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan
masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah
lokal juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan
minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden
Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan
setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan
ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan
untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian
antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah
dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.[11]
Dampak positif otonomi daerah adalah
memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya
wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah
daerah dalam menghadapi masalah yang berada didaerahnya sendiri. Bahkan dana
yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi
dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong
pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga
pariwisata.[12]
BAB
III
FENOMENA PEMEKARAN WILAYAH
3.1. Dasar Hukum Pemekaran Wilayah
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran
suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa,
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang.”[13]
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat
sebagai berikut.
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.”
Secara lebih khusus, UU
Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II
tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah
pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup
pembentukan daerah. UU Nomor
32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan
undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1).
Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut.
“Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan
kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”[14]
Legalisasi
pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat
(3) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan
beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu
daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran
dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan
pemerintahan.”[15]
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat
dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya
persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan
wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur,
serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota,
syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD
kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan
gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.[16]
Selanjutnya,
syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi
dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini.
a. Kemampuan
ekonomi.
b. Potensi
daerah.
c. Sosial
budaya.
d. Sosial
politik.
e.
Kependudukan.
f. Luas
daerah.
g. Pertahanan.
h. Keamanan.
i.
Faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi
j.
daerah.[17]
Terakhir,
syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota
untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan
kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota,
sarana, dan prasarana pemerintahan.[18]
3.2
Pemekaran Wilayah di Indonesia
Ide pemekaran wilayah merupakan hal yang
termasuk baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah setengah abad lebih usia negara ini, tahun 2000 lahir
sebuah provinsi baru bernama Banten. Dahulu, wilayah Banten adalah bagian dari
Provinsi Jawa Barat. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Provinsi Banten (UU Nomor 23 Tahun 2000), pemerintah
mengesahkan adanya provinsi baru itu
pada 17 Oktober 2000. Selanjutnya, diikuti pula munculnya Provinsi Bangka
Belitung dari Sumatera Selatan sebagai provinsi induknya, Provinsi Gorontalo
(dari Sulawesi Utara), dan Kepulauan Riau (dari Riau) melalui undang-undang
yang dibentuk pada tahun yang sama. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya,
pemekaran provinsi terjadi di Maluku dan Papua. Yang terbaru, seperti
diketahui, sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam
mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat
Selatan pada 4 Desember 2005 di Jakarta. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima
kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener
Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh
Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.
Menurut
Tagore Abubakar, Ketua DPRD Bener Meriah yang menjadi tokoh pembentukan
provinsi baru itu, pendirian wilayah baru tak dapat ditunda lagi meskipun belum
didukung pemerintah pusat. Pihaknya merasa pendapatan daerah yang dihasilkan
tak sebanding dengan kesejahteraan warga di wilayahnya. Tidak maksimalnya
perhatian Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh
dianggap menjadi penyebab utama. Upaya mewujudkan pembentukan Provinsi Aceh
Leuser Antara sendiri sudah berlangsung lama. Rancangan undang-undang (RUU)
pembentukannya pun sudah dibuat. Namun, RUU itu memang sama sekali belum disentuh
DPR. Restu dari Menteri Dalam Negeri M. Ma`ruf seperti yang diatur dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004 pun belum mereka dapatkan.[19]
Bahkan,
dari sebuah penelitian, diketahui bahwa sebanyak 80,1% di Kota Bekasi,
Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten
Karawang setuju terbentuknya provinsi baru yang terpisah dari Jawa Barat. Data
ini diperoleh dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan dan
Pengembangan Publik Daerah (LP3D) pada 14 Januari sampai 24 Februari 2005. Dalam
jajak pendapat tersebut, seribu responden dipilih secara acak untuk diminta
menjawab sepuluh pertanyaan.[20]
Dari sepuluh pertanyaan yang diajukan
kepada responden, tiga di antaranya adalah sebagai berikut.
a.
Apakah pembentukan
provinsi baru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
b.
Apakah pembentukan
provinsi baru akan meningkatkan efektivitas koordinasi pemerintahan?
c. Apakah
pembentukan provinsi baru akan meningkatkan potensi pertambangan dalam
peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)?
Berdasarkan hasil penelitian itu,
pembentukan provinsi baru diwilayah tersebut dinilai sangat realistis dan
sesuai dengan paying hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
memberikan syarat pembentukan provinsi berdasarkan syarat administrasi, teknis,
dan fisik kewilayahan.
Dari kenyataan yang ada serta hasil dari
berbagai penelitian seperti dicontohkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya emekaran wilayah, terutama
pembentukan provinsi baru. Menunjangnya sebuah daerah dalam eberapa hal menjadi
penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah
induknya, hal-hal tersebut adalah:
a. kemampuan
ekonomi;
b. potensi
daerah;
c. sosial
budaya;
d. sosial
politik;
e. kependudukan;
f. luas
daerah;
g. pertahanan;
h. keamanan;
i.
dan faktor lain yang
menunjang otonomi daerah.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu,
hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.:
a.
Negara Kesatuan Republik
Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur pemerintahan daerah sesuai
amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas pemberlakuan otonomi
daerah, begitu pula dalam hal pembentukan daerah atau pemekaran wilayah.
b.
Dalam sistem otonomi
daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam pelaksanaannya, yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
c.
Pemberlakuan sistem
otonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini
memberikan dampak positif maupun dampak negatif.
d.
Menunjangnya sebuah
daerah dalam beberapa hal, seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan
sebagainya menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri
dari wilayah induknya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemekaran
wilayah.
4.2
Saran
Pemerintah pusat tetap harus mengatur
dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin
bahwa pemerintah lokal punya kapasitas
dan mekanisme bagi pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu dan
penyelesaian perselisihan. Selain itu, pemerintah pusat juga harus menguji
kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan
kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai, demikian pula tentang
pertimbangan keamanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Argama Rizky,
Pemberlakuan
Otonomi Daerah Dan Fenomena Pemekaran Wilayah Di Indonesia,
Makalah disajikan dalam seminar tentang Otonomi Daerah di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, Desember 2005
“Dua Provinsi Baru
di Aceh Dideklarasikan.” <www.liputan6.com/view/1,113592,1,0,1133,690100.html>.
7 Desember 2005.
Gunawan,
Jamil. Ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta:
LP3ES, 2005.
Indonesia,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia,
Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125
tahun 2004, TLN No. 4437
Indonesia,
Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, No. 33 Tahun 2004, LN No. 126 tahun 2004, TLN No. 4438.
Indonesia,
Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 6 tahun 2005,
LN No. 22 tahun 2005, TLN No. 4480.
Malley,
Michael. “Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan” dalam Indonesia Beyond
Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Editor Donald K. Emmerson.
Jakarta: PT Gramedia, 2001. Hlm. 122-181.
“Poling: Publik Bogor, Bekasi, Karawang dan Depok Setuju
Provinsi Baru.” <http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/09/brk,20050309-
50,id.html>. 9 Maret 2005.
[1] Michael
Malley, “Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan” dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia
Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: PT
Gramedia, 2001), hlm. 122-181.
[2] Budi Agustono,
“Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara” dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi
Lokal, editor Jamil Gunawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm.163.
[3] Ibid, hal. 163
[5]
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun
2004, LN No.
125 tahun 2004,
TLN No. 4437, ps. 1.
[6] ibid
[7] Budi
Agustono, “Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara” dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi
Lokal, editor Jamil Gunawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), 164.
[9] Ibid hal. 169
[10] Ibid Hal 170
Desentralisasi
Globalisasi dan Demokrasi Lokal, editor Jamil Gunawan, (Jakarta:
LP3ES, 2005), hlm.
193.
[12] Ibid hal. 194
[14].
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun
2004, LN No.125 tahun
2004, TLN No. 4437, ps. 4.
[16] Indonesia
(b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN
No.125 tahun 2004, TLN No. 4437, ps. 5.
[17] ibid
[18] Ibid
[19] “Dua Provinsi Baru di Aceh
Dideklarasikan,” <www.liputan6.com/view/1,113592,1,0,1133,690100.html>,
7 Desember 2005.
Dikutip dari Rizky Argama,
Pemberlakuan
Otonomi Daerah Dan Fenomena Pemekaran Wilayah Di Indonesia,
Makalah disajikan dalam seminar tentang Otonomi Daerah di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, Desember 2005, hal. 11
<http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/09/brk,20050309-50,id.html>, 9
Maret 2005.
Dikutip dari Rizky Argama,
Pemberlakuan
Otonomi Daerah Dan Fenomena Pemekaran Wilayah Di Indonesia,
Makalah disajikan dalam seminar tentang Otonomi Daerah di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, Desember 2005, hal. 11